RINDU JAM 6 PAGI
oleh : Martunis Hamka
Part 1
ANUGERAH TERINDAH
Sayup senja melukiskan ketenangan, sunyinya menambah syahdu malam. Dibawah cahaya rembulan dan gemerlapnya bintang terlihat sebuah rumah sederhana yang penghuninya adalah insan-insan mulia. Dengan lampu penerangan seadanya tidak membuat rumah itu redup dalam gulita. Keshalihan para penghuninya mampu memberi seberkas cahaya yang menyinari sampai kelangit-langit Tuhan.
Ketika itu, keluarga bahagia itu baru saja mengerjakan shalat magrib berjamaah.
''Abi, boleh syifa menangis dipelukan abi?'' Pinta si gadis kecil, bulir-bulir bening mulai menetesi pipinya yang tembam kemerah-merahan. Mukenanya juga sudah basah. Rupanya sedari shalat syifa sudah tersedu-sedu.
''loh! ini kenapa, sayang. Sedih kenapa?'' Tanya sang ayah khawatir.
''Hari ini syifa sudah mengkhatamkan hafalan syifa, Abi''. Sontak tubuh sang ayah dipeluk syifa erat-erat. Dalam pelukan ia Tersedu sedu haru. Inilah saat yang ia tunggu-tunggu. Ada kebahagian yang mendalam karena bisa mengkhatamkan kalam Allah yang agung.
Syifa memang anak yang cerdas. Di usianya yang masih belia, 10 tahun, ia sudah menghafal puluhan hadist, matan-matan fiqh dan 30 juz Al-qur'an. Sekedar cerdas memang bukan patokan sebuah keberhasilan. Namun himmah yang tinggi, usaha keras, dan dukungan keluargalah yang menjadikan syifa sebagai anak idaman setiap orang tua.
''Subhanallah, terpujilah Ar-rahman''. Itulah kalimat yang mampu diucapkan sang ayah, selebihnya mereka bersama hanyut dalam tangis haru bahagia. Ibunda syifa yang dari tadi memperhatikan percakapan anak dan suaminya juga ikut terhanyut dan merangkul erat-erat keluarga kecilnya itu.
Dalam pelukan hangat ayah dan bunda, dalam bermandikan air mata bahagia, syifa menyetor hafalannya. Empat surah terakhir ia baca dengan begitu merdu berbalut sedu dan air mata, membuat bergetar hati siapa saja yang mendengarkannya.
''Allazdi yuwaswiisu fii suduurinnaasi minal jinnati wannaas''. Pada ayat terakhir surah An-naas suara syifa melemah. Perlahan tubuh syifa pun tiada lagi bergerak. Sunyi tangisannya, senyap bersama penghujung ayat.
''Syifa, syifa.... Ya Allah Kenapa kamu sayang? Bangun nak''.
******
Terbaring lemah. Matanya terpejam rapat. Sudah hampir tiga hari syifa tidak sadarkan diri. Ayah dan bundanya setia menemaninya di rumah sakit dalam keadaan kantuk dan lelah yang bertambah-tambah. Tak jarang mereka menumpahkan air mata tiap kali menatap sang pelipur lara. Bagaimana tidak, syifa adalah anak mereka satu-satunya yang mereka rawat dengan kasih sayang semenjak kecil dengan harapan akan menjadi penyejuk mata hati. Kini, ia terbaring tidak berdaya meninggalkan beribu tanya. Adakah ia akan pulih dari sakitnya dan mengembalikan senyum kedua belahan jiwanya? Atau ia akan meninggalkan mereka membingkai beribu senyum dan harapan yang pernah dicitakan?
Dokter menvonis syifa dengan penyakit epilepsi SP karena tumor yang menyerang sebagian lokal otak. Penyakit tersebut hanya bisa diangkat dengan jalan pembedahan. Biayanya tidak tanggung-tanggung, seratus lima puluh juta. Jumlah yang sangat besar bagi keluarga sederhana ini. Mereka bingung dimana harus mendapatkan uang sebanyak itu. Memang ayah syifa, Ustadz Muhammad Faruq adalah pimpinan pesantren Tahfizh Qur'an yang merupakan jalan bagi sebahagian orang untuk hidup serba berkecukupan. Namun tidak dengan beliau, beliau lebih memilih hidup zuhud. Bahkan semua sumbangan yang dikhususkan untuk beliau, dipergunakan untuk pembangunan Pesantren. Jangankan mobil mewah, rumah bertingkat, sepetak kebun pun beliau tidak punya. Beliau lebih senang menanam di akhirat daripada menanam di dunia yang fana ini. Sedangkan ibunda Syifa, Zhafira, sehari-hari hanya bergiat sebagai guru pengajar membantu suaminya. Mereka sama-sama menyeru kepada Allah. Allah lebih dahulu bagi mereka. Allah terus, Allah lagi, dan Allah lagi.
Kembali mereka menatap teduh sang buah hati. Pilu, sendu, air mata terus bercucuran, hati menjerit dalam do'a-do'a sanubari yang hanya Allah lah yang mengetahui.
''Ar-rahman... 'allamal Qur'an... Khalaqal insan,....fabiayyi ala irabbikuma tukazzibaan''
Artinya: '' Ar-rahman, yang telah mengajarkan Al-Qur'an, yang telah menciptakan manusia,... -(sampai)- maka nikmat tuhan yang manakah yang kamu dustakan?'' Kalam mulia itu beruntaian keluar dari mulut Syifa. Iya, Syifa membaca Al-qur'an dalam keadaan koma.
''Maha suci Allah yang telah menanamkan kecintaan terhadap Al-Qur'an dalam dirinya''. Air mata kedua orang tua syifa tidak kuasa dibendung. Kecupan lembut bertubi-tubi jatuh dikening syifa...
''Abi... Ummi...''
Bersambung....
Akankah syifa tersembuhkan, atau ia akan berlarut-larut dalam pembaringannya bersama hafalan-hafalannya?
oleh : Martunis Hamka
Part 1
ANUGERAH TERINDAH
Sayup senja melukiskan ketenangan, sunyinya menambah syahdu malam. Dibawah cahaya rembulan dan gemerlapnya bintang terlihat sebuah rumah sederhana yang penghuninya adalah insan-insan mulia. Dengan lampu penerangan seadanya tidak membuat rumah itu redup dalam gulita. Keshalihan para penghuninya mampu memberi seberkas cahaya yang menyinari sampai kelangit-langit Tuhan.
Ketika itu, keluarga bahagia itu baru saja mengerjakan shalat magrib berjamaah.
''Abi, boleh syifa menangis dipelukan abi?'' Pinta si gadis kecil, bulir-bulir bening mulai menetesi pipinya yang tembam kemerah-merahan. Mukenanya juga sudah basah. Rupanya sedari shalat syifa sudah tersedu-sedu.
''loh! ini kenapa, sayang. Sedih kenapa?'' Tanya sang ayah khawatir.
''Hari ini syifa sudah mengkhatamkan hafalan syifa, Abi''. Sontak tubuh sang ayah dipeluk syifa erat-erat. Dalam pelukan ia Tersedu sedu haru. Inilah saat yang ia tunggu-tunggu. Ada kebahagian yang mendalam karena bisa mengkhatamkan kalam Allah yang agung.
Syifa memang anak yang cerdas. Di usianya yang masih belia, 10 tahun, ia sudah menghafal puluhan hadist, matan-matan fiqh dan 30 juz Al-qur'an. Sekedar cerdas memang bukan patokan sebuah keberhasilan. Namun himmah yang tinggi, usaha keras, dan dukungan keluargalah yang menjadikan syifa sebagai anak idaman setiap orang tua.
''Subhanallah, terpujilah Ar-rahman''. Itulah kalimat yang mampu diucapkan sang ayah, selebihnya mereka bersama hanyut dalam tangis haru bahagia. Ibunda syifa yang dari tadi memperhatikan percakapan anak dan suaminya juga ikut terhanyut dan merangkul erat-erat keluarga kecilnya itu.
Dalam pelukan hangat ayah dan bunda, dalam bermandikan air mata bahagia, syifa menyetor hafalannya. Empat surah terakhir ia baca dengan begitu merdu berbalut sedu dan air mata, membuat bergetar hati siapa saja yang mendengarkannya.
''Allazdi yuwaswiisu fii suduurinnaasi minal jinnati wannaas''. Pada ayat terakhir surah An-naas suara syifa melemah. Perlahan tubuh syifa pun tiada lagi bergerak. Sunyi tangisannya, senyap bersama penghujung ayat.
''Syifa, syifa.... Ya Allah Kenapa kamu sayang? Bangun nak''.
******
Terbaring lemah. Matanya terpejam rapat. Sudah hampir tiga hari syifa tidak sadarkan diri. Ayah dan bundanya setia menemaninya di rumah sakit dalam keadaan kantuk dan lelah yang bertambah-tambah. Tak jarang mereka menumpahkan air mata tiap kali menatap sang pelipur lara. Bagaimana tidak, syifa adalah anak mereka satu-satunya yang mereka rawat dengan kasih sayang semenjak kecil dengan harapan akan menjadi penyejuk mata hati. Kini, ia terbaring tidak berdaya meninggalkan beribu tanya. Adakah ia akan pulih dari sakitnya dan mengembalikan senyum kedua belahan jiwanya? Atau ia akan meninggalkan mereka membingkai beribu senyum dan harapan yang pernah dicitakan?
Dokter menvonis syifa dengan penyakit epilepsi SP karena tumor yang menyerang sebagian lokal otak. Penyakit tersebut hanya bisa diangkat dengan jalan pembedahan. Biayanya tidak tanggung-tanggung, seratus lima puluh juta. Jumlah yang sangat besar bagi keluarga sederhana ini. Mereka bingung dimana harus mendapatkan uang sebanyak itu. Memang ayah syifa, Ustadz Muhammad Faruq adalah pimpinan pesantren Tahfizh Qur'an yang merupakan jalan bagi sebahagian orang untuk hidup serba berkecukupan. Namun tidak dengan beliau, beliau lebih memilih hidup zuhud. Bahkan semua sumbangan yang dikhususkan untuk beliau, dipergunakan untuk pembangunan Pesantren. Jangankan mobil mewah, rumah bertingkat, sepetak kebun pun beliau tidak punya. Beliau lebih senang menanam di akhirat daripada menanam di dunia yang fana ini. Sedangkan ibunda Syifa, Zhafira, sehari-hari hanya bergiat sebagai guru pengajar membantu suaminya. Mereka sama-sama menyeru kepada Allah. Allah lebih dahulu bagi mereka. Allah terus, Allah lagi, dan Allah lagi.
Kembali mereka menatap teduh sang buah hati. Pilu, sendu, air mata terus bercucuran, hati menjerit dalam do'a-do'a sanubari yang hanya Allah lah yang mengetahui.
''Ar-rahman... 'allamal Qur'an... Khalaqal insan,....fabiayyi ala irabbikuma tukazzibaan''
Artinya: '' Ar-rahman, yang telah mengajarkan Al-Qur'an, yang telah menciptakan manusia,... -(sampai)- maka nikmat tuhan yang manakah yang kamu dustakan?'' Kalam mulia itu beruntaian keluar dari mulut Syifa. Iya, Syifa membaca Al-qur'an dalam keadaan koma.
''Maha suci Allah yang telah menanamkan kecintaan terhadap Al-Qur'an dalam dirinya''. Air mata kedua orang tua syifa tidak kuasa dibendung. Kecupan lembut bertubi-tubi jatuh dikening syifa...
''Abi... Ummi...''
Bersambung....
Akankah syifa tersembuhkan, atau ia akan berlarut-larut dalam pembaringannya bersama hafalan-hafalannya?
0 Response to "Cerita Islami mengharukan : RINDU JAM 6 PAGI"
Post a Comment