MAHABBAH (scene 3)
Oleh : Martunis Hamka
Ini bukan soal pelarian, tapi soal impian. "Yaman sudah menuggumu, Umar!"
Cinta cukuplah sebagai harapan, namun kemapanan Agama adalah cita-cita yang tinggi. Umar alumni Aliyah Pesantren MUDI MESRA samalanga, Bireun. Disana ia ditempa dengan semangat Agama yang luhur. Setelah itu, ia dipercayakan mengajar di Pesantren yang diasuh oleh Abinya sendiri. Baginya, itulah tujuan hidup hakiki.
Berulang-ulang Umar membaca pesan dari Zahra, berkali-kali ia menyeka air mata. Ia percaya, takdirnya telah tergariskan. Setidaknya, Umar pantas berbahagia karena pernah mencintai gadis suci seperti Zahra. Soal jodoh, ia tak kuasa. Mungkin Allah punya yang lebih baik. Tugas kita hanya memantaskan diri.
"Aku di bandara, aku akan hijrah ke Yaman. in syaa Allah sebentar lagi lepas landas. Berikan doa terbaikmu, Zahra. Kudoakan kau bahagia dengan laki-laki yang akan melamarmu." Dalam sepersekian detik pesan terkirim. Tidak ada kata-kata yang menyuguhkan harapan. Umar tidak mau gadis tercintanya itu bertindak bodoh. Empat tahun ke Yaman adalah waktu yang lama. Kalau jodoh takkan kemana. Umar belajar ikhlas, cintanya karena Allah. Ia ridha pada ketentuannya.
Seorang perempuan anggun berpaling dari jendela kamarnya, ia mengambil handphone yang berdering di atas meja yang terletak diantara buku-buku yang berserakan, terlihat pula sebuah buku catatan harian berwarna pink yang masih terbuka diatas meja tersebut. Sepertinya Zahra baru saja mempuisikan Umar didalam bait-bait rindu. Mata Zahra terlihat bengkak. Hatinya tak kalah berkecamuk seperti halnya Umar. Ia mengira cinta hanya bertepuk sebelah tangan. Lebih-lebih keputusan ayahnya untuk dinikahkan dengan anak sahabat beliau sudah final. Ia tidak mau mengecewakan orang tua.
Diluar, gerimis sedang syahdu-syahdunya mendendangkan nyanyian luka. Zahra mengusap air mata, balasan pesan dari Umar membuatnya tersenyum lebar. Ada kebahagiaan mendalam ketika melihat nama Umar bertengger di balon percakapan meseenger. Bagaimana tidak, selama 5 tahun pesan darinya hampir tak pernah dibuka Umar. Kalaupun dibuka, balasannya sekedar saja. Tapi justru karena itu Zahra semakin mengagumi sosok pemuda tampan dan sholih ini. Ia satu Prodi bahasa Arab dengan Umar ketika di UIN Ar-raniry, Banda Aceh. Ia tahu persis Umar tidak sesombong itu. Di dunia nyata Umar adalah sosok pemuda ramah, inspiratif, dan cerdas. Umar sering mengisi pengajian kitab kuning di mesjid raya Baiturrahman untuk halaqah mahasiswa. Diantara anak-anak kampus hanya Zahra yang tidak sering mengobrol dengan Umar. Melihat Umar dari kejauhan saja hati Zahra sudah dag dig dug, bagaimana bisa berbincang-bincang ria?
Jemari lentik Zahra menggeser layar kunci handphone gold miliknya, dari binar matanya tergurat kebahagiaan mendalam.
Namun raut wajah berubah spontan tatkala ia membaca pesan tersebut, hatinya berkecamuk hebat. Rasa gundah bertumpang tindih tak karuan. Sebentar saja airmata menyembul hebat dari pelupuk mata Zahra. Seolah-olah itu pesan pertama dan terakhir dari Umar. Ia harus merasakan bahagia dan duka lara dalam menit yang sama.
Cepat-cepat Zahra mengambil sebuah bingkisan dari lemari dekat meja belajar. Bingkisan itu sudah ia siapkan setahun yang lalu, namun sampai hari ini bingkisan itu hanyalah sekedar bingkisan. Tak pernah berani Zahra memberikannya kepada Umar. Dan hari ini, entah bagaimana Zahra berani membawa lari bingkisan itu ke bandara. Ia berharap Umar masih ada disana. Ia menghentikan sebuah taksi berwarna biru, air matanya terus berjatuhan. Gerimis masih saja tak mau diam. Lagu-lagu pilu menemani Zahra ke bandara.
Sesampai di gerbang bandara blang bintang, ketika ia membuka pintu taksi, sebuah pesawat air asia melintas tepat di atas kepalanya. Ia tidak memperdulikan itu, ia terus berlari ke dalam, berharap Umar masih ada disana. Setidaknya Umar menunda keberangkatannya. Sesekali Zahra mengusap matanya. Bingkisan yang betuliskan "Untukmu kekasihku," terlihat basah, tulisannya hampir memudar. Ia berusaha menyelimuti bingkisan itu di bawah jilbab birunya yang lebar.
Ruang check in counter sepi, hanya terlihat beberapa orang disana yang sepertinya itu keluarga dari orang-orang yang baru saja berangkat. Zahra berjalan pelan, pakaiannya basah, ia memperhatikan sekitar, "Ternyata engkau benar-benar pergi, Umar," Ucapnya lirih. Perlahan ia mencari tempat duduk untuk sejenak bertumpu. Pandangan matanya kosong, air matanya terus menyembul, sementara kedua tangannya memeluk bingkisan.
Bersambung.....
0 Response to "Cerita Bersambung Pembangun Jiwa : MAHABBAH (Scene 3)"
Post a Comment